Mengenal Seputar Olahraga Tradisional Pathol dari Rembang

4 min read

Olahraga tradisional pathol sudah menjadi budaya masyarakat Jawa tengah, terutama di pesisir utara seperti Rembang. Permainan ini sudah ada sejak zaman Majapahit dan memiliki nilai-nilai filosofis seperti keberanian, sportivitas, dan solidaritas.

Tidak hanya sebagai hiburan saja, permainan tradisional ini merupakan sarana mempererat hubungan sosial di kehidupan bermasyarakat. Umumnya olahraga ini digelar ketika ada acara khusus seperti ritual adat sedekah laut sebagai ucapan syukur kepada Tuhan.

Secara umum, olahraga tradisional pathol mirip seperti sumo dari Jepang, namun tidak hanya orang berbadan tambun saja yang boleh mengikuti permainannya. Sementara itu, tempat untuk menggelar permainannya berada di tempat terbuka seperti pantai.

Sebelum pertandingan dimulai, ada beberapa ritual adat yang dilakukan seperti doa bersama maupun persembahan sesaji pada roh leluhur. Ritual yang dilakukan menunjukkan jika olahraga tradisional ini tidak terpisahkan dari nilai religius maupun tradisi masyarakat sekitar.

Latar Belakang Olahraga Tradisional Pathol

Olahraga tradisional Pathol khas rembang memiliki sejarah tinggi dan nilai budaya masyarakat sehingga perlu dilestarikan di tengah modernisasi saat ini.

Olahraga pathol sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit, namanya berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti orang tidak terkalahkan. Pada awalnya, pertandingan ini digunakan untuk membentuk prajurit angkatan laut di daerah Tuban, Jawa Timur.

Pada saat itu, calon prajurit diadu untuk mencari yang paling kuat dengan pertandingan semacam gulat. Selama permainan, calon prajurit tidak diperbolehkan untuk memukul, menendang, maupun menyikut lawan.

Pemain saling memegang udhet atau kain sepanjang 1,5 meter yang diikat di perut lawan, lalu berusaha untuk membanting lawannya. Peserta akan dinyatakan sebagai pemenang jika berhasil menelentangkan lawan sampai punggung menempel pasir atau arena pertandingan.

Tidak hanya itu, sejarah olahraga tradisional pathol juga ada kaitannya dengan Pangeran Santi Yoga, putra Empu Santi Badra dan Dewi Sukati. Pada usia muda, Pangeran Santi Yoga seringkali membantu kakaknya mengurus kapal di Pelabuhan Kiringan.

Pada saat itu, Pangeran Santi Yoga memiliki tugas untuk merekrut pasukan militer menggunakan gulat Pathol. Peserta yang memenangkan bertandingan akan masuk dalam dinas kemiliteran di daerah Lasem.

Karena hal inilah, Pangeran Santi Yoga juga menjadi tokoh Gulat Pathol di kawasan Rembang hingga Sarang. Setelah masa itu, permainan ini mulai dikembangkan oleh pemuda maupun masyarakat setempat hingga menjadi olahraga sekaligus kesenian tradisional.

Gulat Pathol diselenggarakan setiap purnama atau bertepatan dengan hari khusus seperti upacara sedekah. Hingga sekarang, olahraga tradisional ini masih dilestarikan dan terus diadakan pada hari-hari tertentu.

Filosofi Olahraga Tradisional Pathol

Seperti penjelasan sebelumnya, tujuan utama olahraga pathol adalah menjatuhkan lawan ke tanah. Hal utama yang dibutuhkan dalam olahraga ini adalah kekuatan dan kelincahan tubuh peserta.

Meskipun terlihat sederhana, namun peserta harus memiliki fisik prima dan keterampilan membaca gerakan lawan saat bertanding. Cara inilah yang digunakan untuk menjatuhkan lawan dan mememangkan pertandingan.

Setiap gerakan pada olahraga tradisional pathol sendiri memiliki filosofi yang menunjukkan sifat-sifat ksatria. Pathol tidak hanya mengajarkan keberanian, keuletan, dan pengendalian diri, namun juga menjadi sarana pendidikan moral bagi generasi muda.

Sayangnya, popularitas Pathol mengalami penurunan karena perkembangan zaman dan adanya budaya modern serta globalisasi. Meski begitu, berbagai pihak seperti pemerintah, komunitas budaya, juga tokoh adat terus berupaya melestarikannya.

Berbagai pihak ini sering mengadakan festival budaya dengan menyertakan pertandingan pathol sebagai atraksi utama. Langkah ini cukup efektif dalam menarik perhatian wisatawan maupun generasi muda untuk mengetahui kekayaan budayaan lokal.

Tidak hanya itu saja, olahraga tradisional pathol juga mulai dikenalkan kepada pelajar di sekolah. Salah satunya dengan memasukkan permaian ini dalam kurikulum seni dan budaya sebagai upaya menjaga warisan leluhur.

Dengan berbagai upaya tersebut, permainan tradisional ini mulai dikenal sebagai identitas budaya dari masyarakat pesisir Jawa Tengah. Pelestariannya perlu terus dilakukan meskipun arus modernisasi semakin kuat.

Ketahui Aturan Olahraga Tradisional Pathol

Pada olahraga pathol, dua orang laki-laki akan saling berhadapan di area terbuka tanpa menggunakan matras. Kedua peserta menggunakan celana pendek dengan bertelanjang dada dan mengikatkan kain putih di pinggang seperti sabuk.

Selanjutnya, kedua pemain akan saling merangkul, mendorong, dan melakukan gerakan bantingan untuk beradu kekuatan. Peserta tidak diperbolehkan melakukan pukulan atau tendangan, jika melanggarnya maka wasit yang mengawasi akan memberi peringatan.

Peserta akan dinyatakan kalah jika benar-benar sudah terkunci atau menyerah, ditandai dengan punggung menyentuh pasir. Jika sudah ada yang jatuh, permainan akan dihentikan, lalu digantikan dengan peserta lainnya.

Olahraga tradisional pathol umumnya diiringi dengan panjak atau pengrawit selama pertandingan dilakukan. Setidaknya terdapat lima orang pengrawit yang nantinya akan memainkan kendang, lenong, bonang, saron, dan kempul atau gong kecil.

Dalam pertandingannya, peserta harus menjunjung tinggi sportivitas karena hal itulah yang akan menentukan juara sejati. Dengan sportivitas tinggi, maka peserta dapat menerima kekalahan tanpa ada rasa dendam.

Meskipun di tengah modernisasi, namun panthol menjadi menjadi olahraga tradisional yang bisa diperhitungkan di dunia internasional. Apalagi, selain menjadi hiburan, olahraga tradisional pathol menjadi budaya masyarakat yang mengandung nilai tertentu.

You May Also Like

More From Author